“Siapa yang menahan marah, padahal ia bisa melepaskan kemarahannya, maka kelak pada hari kiamat, Allah akan memanggilnya di depan sekalian makhluk. Kemudian, disuruhnya memilih bidadari sekehendaknya.”
(HR. Abu Dawud – At-Tirmidzi)
Tingkat kekuatan seseorang dalam menghadapi kesulitan hidup memang berbeda. Ada yang mampu menghadapi kesusahan dengan perasaan tenang. Namun, ada pula orang yang menghadapi persoalan kecil saja dianggapnya begitu besar. Semuanya bergantung pada kekuatan ma’nawiyah (keimananan) seseorang.
Pada dasarnya, tabiat manusia yang beragam: keras dan tenang, cepat dan lambat, bersih dan kotor, berhubungan erat dengan keteguhan dan kesabarannya berinteraksi dengan orang lain. Orang yang memiliki keteguhan iman akan menghadapi orang lain dengan sikap pemaaf, tenang,dan lapang dada. Adakalanya, diri merasa begitu marah dengan seseorang yang menghina. Kemarahan begitu memuncak seolah jiwa hilang kesadaran. Diri merasa tidak mampu menerima penghinaan itu. Kecuali, dengan marah atau bahkan dengan cara menumpahkan darah. Na’udzubillah . Rasulullah saw. juga pernah marah. Namun, marahnya tidak melampaui batas kemuliaan. Itu pun ia lakukan bukan karena masalah pribadi melainkan karena kehormatan agama Allah. Rasulullah saw. bersabda, “Memaki-maki orang muslim adalah fasik (dosa),dan memeranginya adalah kufur (keluar dari Islam).” (HR.Bukhari)
Sabdanya pula, “Bukanlah seorang mukmin yang suka mencela, pengutuk, kata-katanya keji dan kotor.” (HR. Turmudzi)
Seorang yang mampu mengawal nafsu ketik amarahnya memuncak, dan mampu menahan diri di kala mendapat ejekan, maka orang seperti inilah yang diharapkan menghasilkan kebaikan dan kebajikan bagi dirinya maupun
masyarakatnya. Seorang hakim yang tidak mampu menahan marahnya, tidak akan mampu memutuskan perkara dengan adil. Dan, seorang pemimpin yang mudah tersalut nafsu marahnya, tidak akan mampu memberikan jalan keluar bagi rakyatnya. Lalu ia akan senantiasa menimbulkan sikap permusuhan dalam masyarakatnya. Begitu juga pasangan suami-isteri yang tidak memiliki ketenangan jiwa. Mereka tidak akan mampu melayarkan bahtera hidup. Karena, masing-masing tidak mampu memejamkan mata atas kesalahan kecil pasangannya.
Bagi orang yang imannya telah tumbuh dengan subur dalam dadanya. Maka, tumbuh pula sifat-sifat jiwa besarnya. Subur pula rasa kesadaran dan kemurahan hatinya. Kesabarannya pun bertambah besar dalam menghadapi sesuatu masalah. Tidak mudah memarahi seseorang yang bersalah dengan begitu saja, sekalipun telah menjadi haknya. Orang yang demikian, akan mampu menguasai dirinya, menahan amarahnya, mengekang lidahnya dari pembicaraan yang tidak patut. Wajib baginya,melatih diri dengan cara membersihkan dirinya dari penyakit-penyakit hati.Seperti, ujub dan takabur, riak, sum’ah, dusta, mengumpat dan lain sebagainya. Dan menyertainya dengan amalan-amalan ibadah dan ketaatan kepada Allah, demi meningkatkan derajat yang tinggi di sisi Allah swt.
Dari Abdullah bin Shamit, Rasulullah saw. bersabda, “Apakah tiada lebih baik saya memberitahu tentang sesuatu yang dengannya Allah meninggikan gedung-gedung dan mengangkat derajat seseorang?” Para sahabat menjawab, “Baik, ya Rasulullah. Rasulullah saw bersabda, “Berlapang dadalah kamu terhadap orang yang membodohi kamu. Engkau suka memberi maaf kepada orang yang telah menganiaya kamu. Engkau suka memberi kepada orang yang tidak pernah memberikan sesuatu kepadamu. Dan, engkau mau bersilaturahim kepada orang yang telah memutuskan hubungan dengan engkau.” (HR. Thabrani) Sabdanya juga, “Bahwasanya seorang hamba apabila mengutuk kepada sesuatu, naiklah kutukan itu ke langit. Lalu, dikunci pintu langit-langit itu buatnya. Kemudian, turunlah kutukan itu ke bumi, lalu dikunci pula pintu-pintu bumi itu baginya. Kemudian, berkeliaranlah ia kekanan dan kekiri. Maka, apabila tidak mendapat tempat baru, ia pergi kepada yang dilaknat. Bila layak dilaknat (artinya kalau benar ia berhak mendapat laknat), tetapi apabila tidak layak, maka kembali kepada orang yang mengutuk (kembali ke alamat si pengutuk).” (HR. Abu Dawud)
Sabtu, 19 Maret 2011
Rabu, 16 Maret 2011
SANG MANTAN
Q disini sendiri menatap langit
Tak mampu tuk berkata-kata
Apakah mungkin Q bisa kembali di kehidupan mu
Atau menjauh dari kehidupan mu dan tak pernah kembali
Q bingung , Q resah dengan angan” kosong
Setiap detik, setiap menit Q hanya berkata
Jauhkanlah diri Q dengan angan” itu dan
Biarkanlah kisah ini menjadi sebuah kenangan
Yang mungkin tak bisa hilang di benak Q
Tak mampu tuk berkata-kata
Apakah mungkin Q bisa kembali di kehidupan mu
Atau menjauh dari kehidupan mu dan tak pernah kembali
Q bingung , Q resah dengan angan” kosong
Setiap detik, setiap menit Q hanya berkata
Jauhkanlah diri Q dengan angan” itu dan
Biarkanlah kisah ini menjadi sebuah kenangan
Yang mungkin tak bisa hilang di benak Q
Langganan:
Postingan (Atom)